Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R

Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R - Hallo sahabat Chord Gitar Indonesia, Pada sharing Kunci gitar kali ini yang berjudul Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R, saya telah menyediakan lirik lagu lengkap dengan kord gitarnya dari awal lagi sampai akhir lagu. mudah-mudahan isi postingan kunci gitar yang saya tulis ini dapat anda pahami. okelah, ini dia chord gitarnya.

Penyanyi : Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R
Judul lagu : Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R

lihat juga


Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R

Portal-Statistik | Hari ini kita akan berbagi bagaimana untuk melakukan analisis data dengan beberapa metode sekaligus, Analisis Regresi Linear Sederhana, Analisis Regresi Logistik dan K-Means Clustering dengan menggunakan aplikasi R.


Fungsi untuk visualisasi

add_title <- function(vis, ..., x_lab = "X units", title = "Plot Title")
{
add_axis(vis, "x", title = x_lab) %>%
add_axis("x", orient = "top", ticks = 0, title = title,
properties = axis_props(
axis = list(stroke = "white"),
labels = list(fontSize = 0)
), ...)
}
Library yang diperlukan

library(ggplot2)
library(ggvis)
library(NbClust)#cluster
library(fpc)#analisis diskriminan
library(lmtest)
library(rattle)
1. Analisis Regresi

Pemodelan dengan dataset Trees
Langkah pertama cek distribusi data untuk setiap variabel Girth terhadap Volume:
trees %>% ggvis (~Girth,~Volume) %>% 
layer_boxplots() %>%
add_title(title = "Indentifying Anomaly data", x_lab = "#Girth session")
dan Height terhadap Volume:
trees %>% ggvis (~Height,~Volume) %>% 
layer_boxplots() %>%
add_title(title = "Indentifying Anomaly data", x_lab = "#Height")
Dari uji diagnostik terlihat ada pola linier (positif) untuk setiap variabel. Tampak juga ada beberapa variansi data yang besar dari “height” terhadap Volume.
Untuk melanjutkan analisis regresi agar menghasilkan model yang baik, maka beberapa yang terindentifikasi outlier (atau anomali) dapat dihilangkan dalam perhitungan model.
Metode yang digunakan untuk hal ini dengan menggunakan jarak Cook.
mod <- lm(data=trees, Volume~Girth+Height )
cooksd <- cooks.distance(mod)
#ploting cooksd
plot(cooksd, pch="*", cex=2, main="Influential Obs by Cooks distance")
abline(h = 4*mean(cooksd, na.rm=T), col="red")
text(x=1:length(cooksd)+1, y=cooksd, labels=ifelse(cooksd>4*mean(cooksd, na.rm=T),names(cooksd),""), col="red")
Kemudian, row data yang teridentifikasi sebagai outlier dapat dieliminasi dalam model
influential <- as.numeric(names(cooksd)[(cooksd > 4*mean(cooksd, na.rm=T))])  
clean.data <- data.frame(trees[-influential, ])
summary(model <-lm(data=clean.data, Volume~Girth+Height))
## 
## Call:
## lm(formula = Volume ~ Girth + Height, data = clean.data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -5.6396 -1.2786 -0.4938 2.0262 6.4599
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) -52.2362 8.0390 -6.498 5.76e-07 ***
## Girth 4.4773 0.2518 17.781 < 2e-16 ***
## Height 0.2992 0.1179 2.538 0.0172 *
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 3.49 on 27 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.9437, Adjusted R-squared: 0.9395
## F-statistic: 226.3 on 2 and 27 DF, p-value: < 2.2e-16

Kesimpulan yang didapat, bahwa Girth dan Height memiliki pengaruh yang kuat terhadap Volume pohon. Sehingga dapat dikatakan juga untuk menghitung Volume sebuah pohon 93% dapat digambarkan menggunakan nilai Girth dan Height nya.
Sebagai tambahan, dapat juga dilakukan uji kebaikan model dengan uji heteroskedastik error, model dikatakan baik jika H0 gagal ditolak (homoskedastik). Error yang homogen dapat mengidentifikasikan hasil estimasi stabil (selisih antara estimasi dan nilai asli tidak terlalu bervariasi)
bptest(model)
## 
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: model
## BP = 1.8397, df = 2, p-value = 0.3986

Uji autokorelasi dapat diabaikan untuk kasus ini karena termasuk data cross section, bukan time series.
Normalitas error, jika error yang dihasilkan model berdistirbusi normal maka dapat dikatakan model baik
res=residuals(model,type="response")
shapiro.test(res)
## 
## Shapiro-Wilk normality test
##
## data: res
## W = 0.96008, p-value = 0.3113

Kemudian uji multikoliniearitas. Di anggap baik Jika nilai VIF dibawah 5.
library(fmsb)
VIF(model)
## [1] 17.76253

Karena model teridentifikasi multikolinieritas, maka model dapat disusun ulang sebagai berikut dengan mempertimbangkan nilai t statistik terbesar untuk variabel independen.
summary(model1 <-lm(data=clean.data, Volume~Girth))
## 
## Call:
## lm(formula = Volume ~ Girth, data = clean.data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -7.5036 -2.3834 -0.0489 2.3951 6.3726
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) -33.3104 3.2784 -10.16 6.76e-11 ***
## Girth 4.7619 0.2464 19.33 < 2e-16 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 3.813 on 28 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.9303, Adjusted R-squared: 0.9278
## F-statistic: 373.6 on 1 and 28 DF, p-value: < 2.2e-16

Kesimpulan terkahir didapat, untuk memperkirakan Volume (atau bahkan height) dapat digambarkan 93% menggunakan Girth.

2. Logistic Regression
library(datasets)
dim(Titanic)
## [1] 4 2 2 2

Mempersiapkan data
 classes <- dimnames(Titanic)[[1]]
genders <- dimnames(Titanic)[[2]]
ages <- dimnames(Titanic)[[3]]

class <- gender <- age <- N <- Y <- rep(0,4*2*2)
count<-0
for(i1 in 1:4){
for(i2 in 1:2){
for(i3 in 1:2){
count <- count + 1
class[count] <- classes[i1]
gender[count] <- genders[i2]
age[count] <- ages[i3]
N[count] <- sum(Titanic[i1,i2,i3,])
Y[count] <- Titanic[i1,i2,i3,2]
}
}
}

Xc1 <- ifelse(class=="1st",1,0)
Xc2 <- ifelse(class=="2nd",1,0)
Xc3 <- ifelse(class=="3rd",1,0)
Xg <- ifelse(gender=="Female",1,0)
Xa <- ifelse(age=="Adult",1,0)
n <- 16

cbind(class,Xc1,Xc2,Xc3,gender,Xg,age,Xa,N,Y)
##       class  Xc1 Xc2 Xc3 gender   Xg  age     Xa  N     Y    
## [1,] "1st" "1" "0" "0" "Male" "0" "Child" "0" "5" "5"
## [2,] "1st" "1" "0" "0" "Male" "0" "Adult" "1" "175" "57"
## [3,] "1st" "1" "0" "0" "Female" "1" "Child" "0" "1" "1"
## [4,] "1st" "1" "0" "0" "Female" "1" "Adult" "1" "144" "140"
## [5,] "2nd" "0" "1" "0" "Male" "0" "Child" "0" "11" "11"
## [6,] "2nd" "0" "1" "0" "Male" "0" "Adult" "1" "168" "14"
## [7,] "2nd" "0" "1" "0" "Female" "1" "Child" "0" "13" "13"
## [8,] "2nd" "0" "1" "0" "Female" "1" "Adult" "1" "93" "80"
## [9,] "3rd" "0" "0" "1" "Male" "0" "Child" "0" "48" "13"
## [10,] "3rd" "0" "0" "1" "Male" "0" "Adult" "1" "462" "75"
## [11,] "3rd" "0" "0" "1" "Female" "1" "Child" "0" "31" "14"
## [12,] "3rd" "0" "0" "1" "Female" "1" "Adult" "1" "165" "76"
## [13,] "Crew" "0" "0" "0" "Male" "0" "Child" "0" "0" "0"
## [14,] "Crew" "0" "0" "0" "Male" "0" "Adult" "1" "862" "192"
## [15,] "Crew" "0" "0" "0" "Female" "1" "Child" "0" "0" "0"
## [16,] "Crew" "0" "0" "0" "Female" "1" "Adult" "1" "23" "20"

Membuat fungsi logistik dengan metode estimasi Likelihood
logistic_model <- "model{
# Likelihood
for(i in 1:n){
Y[i] ~ dbin(q[i],N[i])
logit(q[i]) <- beta[1] + beta[2]*Xc1[i] + beta[3]*Xc2[i] +
beta[4]*Xc3[i] + beta[5]*Xg[i] + beta[6]*Xa[i]
}

#Priors
for(j in 1:6){
beta[j] ~ dnorm(0,0.01)
}
}"
Modelling menggunakan logistik model
library(rjags)
  dat    <- list(Y=Y,n=n,N=N,Xc1=Xc1,Xc2=Xc2,Xc3=Xc3,Xg=Xg,Xa=Xa)
model1 <- jags.model(textConnection(logistic_model),data = dat,n.chains=3, quiet=TRUE)
Menghitung nilai DIC
  dic1  <- dic.samples(model1, 
variable.names=c("beta"),
n.iter=20000, progress.bar="none")
Konvergensi Diagnosis
samp <- coda.samples(model1, 
variable.names=c("beta"),
n.iter=20000, progress.bar="none")
autocorr.plot(samp)
gelman.plot(samp)
summary(samp)
## 
## Iterations = 21001:41000
## Thinning interval = 1
## Number of chains = 3
## Sample size per chain = 20000
##
## 1. Empirical mean and standard deviation for each variable,
## plus standard error of the mean:
##
## Mean SD Naive SE Time-series SE
## beta[1] -0.1643 0.2613 0.0010670 0.008718
## beta[2] 0.8569 0.1583 0.0006461 0.001258
## beta[3] -0.1651 0.1739 0.0007099 0.001575
## beta[4] -0.9280 0.1486 0.0006068 0.001882
## beta[5] 2.4314 0.1401 0.0005722 0.001060
## beta[6] -1.0711 0.2485 0.0010145 0.008102
##
## 2. Quantiles for each variable:
##
## 2.5% 25% 50% 75% 97.5%
## beta[1] -0.6739 -0.3353 -0.1651 0.008272 0.3573
## beta[2] 0.5465 0.7511 0.8572 0.963007 1.1664
## beta[3] -0.5081 -0.2825 -0.1631 -0.045948 0.1722
## beta[4] -1.2229 -1.0272 -0.9267 -0.827322 -0.6376
## beta[5] 2.1599 2.3363 2.4310 2.525828 2.7076
## beta[6] -1.5624 -1.2349 -1.0703 -0.907697 -0.5834

Kesimpulan:
  1. Perempuan (mean Beta 5 >0) bertahan hidup lebih tinggi (peluang) dibandingkan laki-laki (mean Beta 4 <0)
  2.  Crew Kelas kedua (Mean Beta 2 > 0) bertahan hidup lebih baik dibandingkan Crew kelas Pertama (Mean Beta 1 <0) dan Crew kelas ketiga (mean beta 3 <0)
  3. Orang dewasa (adults) memiliki kemungkinan bertahan lebih buruk (mean beta 6 <0) dibandingkan anak-anak (child) (mean beta 5> 0)
3. Clusteing Analisis
Langkah pertama melihat struktur data
head(wine,3)
##   Type Alcohol Malic  Ash Alcalinity Magnesium Phenols Flavanoids
## 1 1 14.23 1.71 2.43 15.6 127 2.80 3.06
## 2 1 13.20 1.78 2.14 11.2 100 2.65 2.76
## 3 1 13.16 2.36 2.67 18.6 101 2.80 3.24
## Nonflavanoids Proanthocyanins Color Hue Dilution Proline
## 1 0.28 2.29 5.64 1.04 3.92 1065
## 2 0.26 1.28 4.38 1.05 3.40 1050
## 3 0.30 2.81 5.68 1.03 3.17 1185

str(wine)
## 'data.frame':    178 obs. of  14 variables:
## $ Type : Factor w/ 3 levels "1","2","3": 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 ...
## $ Alcohol : num 14.2 13.2 13.2 14.4 13.2 ...
## $ Malic : num 1.71 1.78 2.36 1.95 2.59 1.76 1.87 2.15 1.64 1.35 ...
## $ Ash : num 2.43 2.14 2.67 2.5 2.87 2.45 2.45 2.61 2.17 2.27 ...
## $ Alcalinity : num 15.6 11.2 18.6 16.8 21 15.2 14.6 17.6 14 16 ...
## $ Magnesium : int 127 100 101 113 118 112 96 121 97 98 ...
## $ Phenols : num 2.8 2.65 2.8 3.85 2.8 3.27 2.5 2.6 2.8 2.98 ...
## $ Flavanoids : num 3.06 2.76 3.24 3.49 2.69 3.39 2.52 2.51 2.98 3.15 ...
## $ Nonflavanoids : num 0.28 0.26 0.3 0.24 0.39 0.34 0.3 0.31 0.29 0.22 ...
## $ Proanthocyanins: num 2.29 1.28 2.81 2.18 1.82 1.97 1.98 1.25 1.98 1.85 ...
## $ Color : num 5.64 4.38 5.68 7.8 4.32 6.75 5.25 5.05 5.2 7.22 ...
## $ Hue : num 1.04 1.05 1.03 0.86 1.04 1.05 1.02 1.06 1.08 1.01 ...
## $ Dilution : num 3.92 3.4 3.17 3.45 2.93 2.85 3.58 3.58 2.85 3.55 ...
## $ Proline : int 1065 1050 1185 1480 735 1450 1290 1295 1045 1045 ...

Melakukan standarisasi data, dan membuat kolom pertama (factor fields)
dataLatih <- scale(wine[-1])
Kemudian menentukan berapa jumlah cluster yang harus terbentuk hingga hasil optimal
nc <- NbClust(dataLatih,
min.nc=2, max.nc=15,
method="kmeans")
## *** : The Hubert index is a graphical method of determining the number of clusters.
## In the plot of Hubert index, we seek a significant knee that corresponds to a
## significant increase of the value of the measure i.e the significant peak in Hubert
## index second differences plot.

## *** : The D index is a graphical method of determining the number of clusters. 
## In the plot of D index, we seek a significant knee (the significant peak in Dindex
## second differences plot) that corresponds to a significant increase of the value of
## the measure.
##
## *******************************************************************
## * Among all indices:
## * 4 proposed 2 as the best number of clusters
## * 15 proposed 3 as the best number of clusters
## * 1 proposed 10 as the best number of clusters
## * 1 proposed 12 as the best number of clusters
## * 1 proposed 14 as the best number of clusters
## * 1 proposed 15 as the best number of clusters
##
## ***** Conclusion *****
## * According to the majority rule, the best number of clusters is 3

## *******************************************************************

barplot(table(nc$Best.n[1,]),
xlab="Jumlah Cluster",
ylab="Jumlah Variabel",
main="Jumlah Cluster berdasarkan 26 Variabel")
wss <- 0
for (i in 1:15){
wss[i] <-
sum(kmeans(dataLatih, centers=i)$withinss)
}
plot(1:15,
wss,
type="b",
xlab="Jumlah Cluster",
ylab="WSS")
Dari 2 metode diatas,ditetapkan 3 sebagai nilai Jumlah cluster yang akan dibentuk.
Kemudian membentuk cluster menggunakan kmeans

modelCluster <- kmeans(dataLatih,3)
kemudian divisualisasi menggunakan metode diskriminan untuk mereduksi dimensi, (menggambarkan banyak variabel menjadi 2 dimensi)
plotcluster(dataLatih, modelCluster$cluster)
Terakhir, mengevaluasi model dengan menggunakan tabel, dengan mencocokan variabel type pada dataset wine dengan hasil cluster yang terbentuk
 table(wine$Type,modelCluster$cluster)

##      1  2  3
## 1 59 0 0
## 2 3 3 65
## 3 0 48 0

 Dari Hasil didapatkan dengan model clustering yang digunakan, kemudian dibandingkan dengan data asli maka ditemukan terdapat 6 unit yang missclassfied. Sehingga didapat akurasi kebaikan hasil cluster dibandingkan dengan data asli maka:
 (178-6)/178
 ## [1] 0.9662921


Thank You,
Have Fun.


Demikianlah Artikel Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R

Sekian Kunci gitar Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Chord gitar lagu kali ini.

Anda sedang membaca artikel Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R dan artikel ini url permalinknya adalah https://ikazumdammahum.blogspot.com/2017/02/simpel-regresi-linier-logistik-dan-k.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.

0 Response to "Simpel Regresi Linier, Logistik dan K-Means Clustering Menggunakan R"

Post a Comment